kali ini saya akan menceritakan perjalanan terakhir
putra pandu versi begawan Abiyasa dari Wukir Retawu . . .Tiga puluh enam
tahun telah berlalu sejak pecah perang Baratayuda antara Pandawa dan
Kurawa yang dimenangkan oleh pandawa. Sejak itu kerajaan Astina di bawah
pimpinan prabu Yudhistira berhasil mewujudkan suatu negara yang subur
makmur gemah ripah loh jinawi kerta tur raharja. Jauh dari sengketa
politik tidak seperti ketika negara masih dikuasai kaum Kurawa, dimana
Pandawa harus mengalami hidu
p sengsara merana di hutan belantara 13 tahun
lamanya.
Akan tetapi perjalanan hidup tidak selalu langgeng,
situasi dan kondisi turut menentukan, terutama setelah meninggalnya para
pini sepuh seperti Destarata, Gendari, Kunti dan Kresna, Pandawa
seperti kehilangan pegangan. Kelezatan dan kemewahan tak mampu menjamin
ketenangan batin. Resah gelisah dan serba salah akhirnya menimbulkan
rasa jenuh, seolah mereka sudah tidak betah lagi tinggal di dalam
istana. Untuk menetralisir keadaan, Yudhistira bersama
saudara-saudaranya sepakat akan minta nasehat Begawan Abiyasa di
pertapaan Wukir Retawu.
Bersabdalah sang Begawan: “Cucuku, segala
sesuatu yang diciptakan tidak ada yang sempurna. Begitu pula hidup di
dunia tidak ada yang langgeng, cepat atau lambat kita akan kembali
menghadap Yang Maha Kuasa. Karena itu aku menasehatkan agar kalian
segera berpindah dari istana kerajaan dengan segala kelezatan dan
kemewahannya, pindah ke istana alam dengan segala keasliannya untuk
mencapai kemuliaan akherat sambil menunggu kedatangan Hyang Kala,”
ujarnya.
Wejangan Abiyasa itu memberi tanda lampu kuning, agar
Pandawa meninggalkan kelezatan duniawi beralih mencari kemuliaan
akhirat, mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu dipanggil menghadap Tuhan
Maha Kuasa. Atas wejangan itu Pandawa sepakat akan meninggalkan
kerajaan membuang diri menjelajah alam terbuka bertapa mendekatkan diri
dengan Hyang Maha Tungal. Sedang untuk meneruskan tahta kerajaan telah
diangkat Parikesit sebagai raja Astinapura.
Demikianlah pada hari
yang telah ditetapkan, para Ksatria Pandawa bersama Drupadi meningalkan
istana dengan perasaan pilu diiringi isak tangis keluarga dan rakyatnya.
Tidak sepotong pun harta dunia yang dibawa, bahkan pakaian pun terbuat
dari kulit. Ketika mereka keluar dari istana seekor anjing mengikuti
dari belakang. Mereka berjalan ke arah timur masuk hutan keluar hutan,
kemudian berbelok ke selatan dan akhirnya sampai di pegunungan Himawan
(Himalaya) yang di situ terbentang alam terbuka gurun pasir yang
terhampas luas sejauh mata memandang. Gurun itulah yang akan mereka
tempuh. Setelah bersemadi beberapa saat, mulailah mereka memasuki istana
alam di bawah teriknya sinar matahari menyengat sekujur badan.
Tiba-tiba Drupadi mengaduh dan jatuh terkulai serta tak lama kemudian
menemui ajal, Bima sedih melihatnya dan bertanya: “Kakangku, Drupadi
telah mati, apakah ia membawa dosa?”
Yudhistira: “Adikku Bima,
setiap kematian membawa dosa. Semasa hidupnya Drupadi bertindak pilih
kasih. Ia lebih mencintai Arjuna daripada kita. Dosa itulah yang akan ia
bawa,” jelasnya.
Tidak lama kemudian Sadewa pun terjatuh dan ajal seketika. Bima bertanya: “Kakang lihat, Sadewa pun mati, apa pendapatmu?”
Yudhistira: “Adikku, Tuhan tidak menyukai orang yang sombong. Ketika
masih hidup Sadewa suka menyombongkan diri, bahwa dialah yang paling
pintar tak ada yang mengungguli. Padahal setiap manusia mempunyai
keterbatasan. Itulah dosanya.”
Perjalanan diteruskan dan semakin
jauh menyelusuri gurun pasir dan kelelahan pun semakin terasa. Tiba-tiba
nakula pun tejratuh dan menghembuskan nafas yang terakhir. Bima kembali
bertanya: “Kakang Yudhis, Nakula pun menyusul, bagaimana pendapatmu?”
“Jika seseorang merasa dirinya lebih dari yang lain, maka orang itu
takabur. Begitupun Nakula. Ia merasa dirinya yang paling tampan tiada
duanya. Itu pertanda hatinya tak setampan lahirnya. Karena itu ia tak
dapat mengikuti kita,” jelasnya. Belum kering mulut Yudhistira berkata,
giliran Arjuna jatuh terkulai mengalami nasib yang sama. Padahal
kesaktiannya seperti Hyang Indra “Apakah dosanya Kang?”
Yudhistira: “Arjuna pun terkena penyakit takabur. Ketika anaknya mati,
ia telah sesumbar sanggup mengalahkan musuh dalam satu hari sebelum
matahari terbenam. Padahal kesanggupannya hanya terdorong oleh nafsu
semata, sehingga janjinya tak dapat dibuktikan. Itulah dosanya.”
Tak
berapa lama tiba-tiba Bima mengerang: “Oh, kakang tolong aku, badanku
gemetar aku tak mampu berjalan, tolong aku kang…: “Adikku Bima, engkau
makan sangat gembul tanpa mengindahkan orang lain yang juga butuh
makanan. Kata-katamu kasar tak perduli dengan siapa engkau berbicara.
Selain itu engkau selalu menyombongkan kekuatanmu. Karena itu terimalah
apa yang telah engkau lakukan,” dan sang Bima pun menemui ajalnya.
Tinggallah Yudhistira seorang diri hanya ditemani angjingnya yang sangat
setia. Hatinya sedih tak terperikan lalu ia berdoa: “Duh Maha Agung,
terimalah adik-adik hamba menghadap -Mu. Meski mati membawa dosa, tetapi
mereka pun banyak berbuat amal kebaikan semasa hidupnya. Karena itu
ampunilah dosanya, berilah mereka tempat yang layak sesuai dengan amal
perbuatannya.”
Kemudian ia berkata kepada anjingnya: “Anjingku
yang setia, engkau telah menjadi saksi atas kepergian adik-adikku. Tak
lama lagi mungkin giliranku. Tapi aku sangat sedih karena kau harus
menyendiri. Padahal selama ini engkau begitu setia menyertaiku.” Baru
saja Yudhistira hendak beranjak, tiba-tiba di angkasa terdengar suara
mengguruh ternyata Hyang Indra datang dengan kereta kencana tiba di
hadapan Yudhsitra seraya bersabda: “hai Yudhistira, janganlah engkau
bersedih atas kematian adik-adik dan istrimu. Mati telah menjadi bagian
setiap manusia. Sekarang naiklah ke atas kereta, engkau akan kubawa ke
swarga tanpa harus meninggalkan jasadmu sebagai penghargaan atas
keutamaanmu.
Yudhistira : “iya sang Pikulun, hamba sangat bersyukur
mendapat anugerah yang tak terhingga besarnya. Hanya ada satu permintaan
sebelum paduka membawa hamba.” “katakan apa yang kau minta?” tanya
Indra. “Hamba mohon supaya anjing ini diperkenankan turut serta naik ke
swarga,” pintanya.
Indra : “Yudhistira, ketahuilah bahwa engkau
akan kubawa ke alam yang teramat suci tanpa noda sedikit pun. Sedang
anjing adalah hewan yang sangat kotor. Karena itu janganlah engkau
memikirkannya, walaupun ia setia padamu.”
Yudhistira : “Kalau
demikian lebih baik hamba tinggal di sini bersamanya. Hamba tidak tega
meninggalkan dia sendirian di tengah hamparan pasir yang luas sejauh
mata memandang. Dia telah merasakan kelelahan yang amat sangat menempuh
perjalanan yang amat jauh bersama hamba,” jawab Yudhistira bertahan.
Indra : “Kalau begitu engkau tidak menghargai kesetiaan
saudara-saudaramu yang telah pergi lebih dahulu. Selama hidupnya mereka
begitu setia kepadamu hingga akhir hayatnya. Lalu mana kesetiaanmu
kepada mereka?” sergahnya.
Yudhistira : “Tidak dapat dikatakan hamba
tak akan setia kepada mereka, karena mereka telah ajal lebih dahulu.
Kecuali jika mereka masih hidup kemudian hamba meninggalkan mereka,
barulah itu dikatakan bahwa hamba tidak setia kepada mereka. Dan kini
seekor anjing walaupun hewan kotor, karena dia sangat setia kepada hamba
dan adik-adik hamba, apakah hamba harus tega meninggalkannya sendirian
di alam terbuka tanpa ada yang menemani. Bukankah anjing juga makhluk
Tuhan? Oh, tidak sang Pikulun, lebih baik hamba tak ke swarga daripada
harus meninggalkan dia,” kilahnya.
Tiba-tiba anjing itu menghilang
dan Dewa Darma telah berada di hadapan yudhistira merangkul dan
bersabda: “Anakku Yudhistira, telah dua kali aku menguji keutamaanmu.
Pertama ketika saudara-saudaramu mati di tepi hutan karena minum air
kolam. Ketika kau minta supaya Nakula yang dihidupkan bukan Arjuna
saudara sekandungmu, karena engkau lebih mengutamakan keadilan daripada
kasih sayang. Dan sekarang engkau lebih baik tak jadi ke swarga daripada
harus meninggalkan seekor anjing yang setia kepadamu. Mengingat
keutamaanmu, engkau diperkenankan naik ke swarga bersama jasadmu.”
Ringkas cerita Yudhistira telah naik ke alam akhirat. Setibanya di sana
ia melihat-lihat apakah saudara-saudaranya berada di situ. Ternyata taks
eorang pun ia lihat. Bahkan ia kaget ketika melihat Duryudana sedang
duduk di singgasana disanjung dan dimuliakan. Ia berkata dalam hatinya:
“Ah, ini tidak sesuai dengan karyanya di dunia. Walaupun ia raja tapi ia
berwatak angkara. Justru dialah yang menyulut api perang Baratayudha.
Tapi mengapa ia justru ditempatkan di swarga?” Batara Narada yang
menyertai terusik rasa tahu apa kata hati si anak Pandu itu lalu
berkata: “Wahai Yudhistira, janganlah engkau heran. Matinya Duryudana di
medan perang sebagai seorang perwira. Maka sudah sepantasnya Maha Kuasa
mengganjar dengan kemulian.”
“Hamba tak berhak mencampuri urusan
akhirat, silahkan bila Duryudana diberi ganjaran kemuliaan. Tetapi
kalau tempat ini pantas untuk Duryudana, lalu di manakah tempat
berkumpulnya saudara hamba?” tanya Yudhistira.
Narada lalu
menitahkan seorang ahli swarga mengantar Yudhistira ke tempat saudaranya
berkumpul. Ternyata jalannya penuh kerikil dan batu-batuan. Ribuan
nyamuk berterbangan, di sepanjang jalan darah berceceran, daging
terkeping-keping serta tulang-tulang berserakan ditambah bau amis sangat
menyengat. Tak lama terlihat sebuah kancah dengan godongan minyak yang
sangat panas sedang menggodog manusia-manusia yang sedang disiksa.
Yudhistira tak sampai hati dan ingin berlalu. Tetapi tiba-tiba ada suara
menghimbau: “Oh, jangan pergi dulu sang Prabu, karena air minyak yang
sangat panas ini, begitu tuand atang mendadak menjadi sangat dingin
bagai hawa di pegunungan.”
Ternyata yang berbicara bukan hanya
seorang, tetapi beberapa orang yang sedang mendapat siksaan. Yudhistira
kaget, karena ia mengenal satu-satunya suara itu. Lalu ia bertanya siapa
tadi yang bertanya. Maka mereka menjawab: “Aku Karna, Aku Bima.” Lalu
lainnya: “Saya Arjuna,” demikian seterusnya sampai nama Nakula Sadewa
dan Drupadi. Setelah jelas bahwa mereka yang sedang mendapat siksaan itu
adalah saudara-saudaranya, Yudhistira minta kepada pengiringnya agar
meninggalkan tempat itu. Biarlah dia ingin menyertai mereka, agar
godongan minyak itu tetap dingin.
Tetapi tak lama kemudian
berdatanganlah para Dewa ke tempat siksaan dan.. seketika tempat yang
semula berupa kancah godongan berubah menjadi suatu tempat yang amat
indah tiada tara, sejuk nyaman dengan semilir angin yang menyejukkan
ditambah tercium harum yang mewangi di sekitarnya. Hyang Indra kemudian
bersabda:
“Yudhistira, jangan engkau masygul, sebab ini adalah suatu
rahasia. Setiap manusia tak dipilih-pilih harus ke neraka. Hanya ada
aturan tertentu, siapa yang ke swarga dahulu, selanjutnya harus ke
nereka. . Dan siapa yang ke neraka dahulu, akhirnya akan ke swarga.
Artinya apabila di dunia hidupnya berbuat jahat, maka di akhiratnya akan
diganjar swarga dahulu, kemudian dimasukkan ke nereka. Sedang tuan
harus melihat, sebab tuan pernah berbohong menipu Dorna ketika perang
tuan mengatakan bahwa Aswatama telah mati. Demikian pula saudara-saudara
tuan masuk ke neraka karena ada dosanya. Tetapi sejak hari ini,
hukumannya telah ditutup dan mereka akan masuk swarga. Nah, biarkan
mereka lebih dahulu memasuki gerbang Nirwana.”
Setelah itu sukma
Yudhistira medal dari raga badannya dan dengan diiringi para Dewa masuk
ke swarga bertemu dengan saudara-saudara serta para kerabat dan
sahabatnya mendapat sejatining kemuliaan..
Salam rahayu semoga bermanfaat . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar