Minggu, 11 Januari 2015

Perjalanan hidup Pandawa

kali ini saya akan menceritakan perjalanan terakhir putra pandu versi begawan Abiyasa dari Wukir Retawu . . .Tiga puluh enam tahun telah berlalu sejak pecah perang Baratayuda antara Pandawa dan Kurawa yang dimenangkan oleh pandawa. Sejak itu kerajaan Astina di bawah pimpinan prabu Yudhistira berhasil mewujudkan suatu negara yang subur makmur gemah ripah loh jinawi kerta tur raharja. Jauh dari sengketa politik tidak seperti ketika negara masih dikuasai kaum Kurawa, dimana Pandawa harus mengalami hidu
p sengsara merana di hutan belantara 13 tahun lamanya.
Akan tetapi perjalanan hidup tidak selalu langgeng, situasi dan kondisi turut menentukan, terutama setelah meninggalnya para pini sepuh seperti Destarata, Gendari, Kunti dan Kresna, Pandawa seperti kehilangan pegangan. Kelezatan dan kemewahan tak mampu menjamin ketenangan batin. Resah gelisah dan serba salah akhirnya menimbulkan rasa jenuh, seolah mereka sudah tidak betah lagi tinggal di dalam istana. Untuk menetralisir keadaan, Yudhistira bersama saudara-saudaranya sepakat akan minta nasehat Begawan Abiyasa di pertapaan Wukir Retawu.
Bersabdalah sang Begawan: “Cucuku, segala sesuatu yang diciptakan tidak ada yang sempurna. Begitu pula hidup di dunia tidak ada yang langgeng, cepat atau lambat kita akan kembali menghadap Yang Maha Kuasa. Karena itu aku menasehatkan agar kalian segera berpindah dari istana kerajaan dengan segala kelezatan dan kemewahannya, pindah ke istana alam dengan segala keasliannya untuk mencapai kemuliaan akherat sambil menunggu kedatangan Hyang Kala,” ujarnya.
Wejangan Abiyasa itu memberi tanda lampu kuning, agar Pandawa meninggalkan kelezatan duniawi beralih mencari kemuliaan akhirat, mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu dipanggil menghadap Tuhan Maha Kuasa. Atas wejangan itu Pandawa sepakat akan meninggalkan kerajaan membuang diri menjelajah alam terbuka bertapa mendekatkan diri dengan Hyang Maha Tungal. Sedang untuk meneruskan tahta kerajaan telah diangkat Parikesit sebagai raja Astinapura.
Demikianlah pada hari yang telah ditetapkan, para Ksatria Pandawa bersama Drupadi meningalkan istana dengan perasaan pilu diiringi isak tangis keluarga dan rakyatnya. Tidak sepotong pun harta dunia yang dibawa, bahkan pakaian pun terbuat dari kulit. Ketika mereka keluar dari istana seekor anjing mengikuti dari belakang. Mereka berjalan ke arah timur masuk hutan keluar hutan, kemudian berbelok ke selatan dan akhirnya sampai di pegunungan Himawan (Himalaya) yang di situ terbentang alam terbuka gurun pasir yang terhampas luas sejauh mata memandang. Gurun itulah yang akan mereka tempuh. Setelah bersemadi beberapa saat, mulailah mereka memasuki istana alam di bawah teriknya sinar matahari menyengat sekujur badan.
Tiba-tiba Drupadi mengaduh dan jatuh terkulai serta tak lama kemudian menemui ajal, Bima sedih melihatnya dan bertanya: “Kakangku, Drupadi telah mati, apakah ia membawa dosa?”
Yudhistira: “Adikku Bima, setiap kematian membawa dosa. Semasa hidupnya Drupadi bertindak pilih kasih. Ia lebih mencintai Arjuna daripada kita. Dosa itulah yang akan ia bawa,” jelasnya.
Tidak lama kemudian Sadewa pun terjatuh dan ajal seketika. Bima bertanya: “Kakang lihat, Sadewa pun mati, apa pendapatmu?”
Yudhistira: “Adikku, Tuhan tidak menyukai orang yang sombong. Ketika masih hidup Sadewa suka menyombongkan diri, bahwa dialah yang paling pintar tak ada yang mengungguli. Padahal setiap manusia mempunyai keterbatasan. Itulah dosanya.”
Perjalanan diteruskan dan semakin jauh menyelusuri gurun pasir dan kelelahan pun semakin terasa. Tiba-tiba nakula pun tejratuh dan menghembuskan nafas yang terakhir. Bima kembali bertanya: “Kakang Yudhis, Nakula pun menyusul, bagaimana pendapatmu?”
“Jika seseorang merasa dirinya lebih dari yang lain, maka orang itu takabur. Begitupun Nakula. Ia merasa dirinya yang paling tampan tiada duanya. Itu pertanda hatinya tak setampan lahirnya. Karena itu ia tak dapat mengikuti kita,” jelasnya. Belum kering mulut Yudhistira berkata, giliran Arjuna jatuh terkulai mengalami nasib yang sama. Padahal kesaktiannya seperti Hyang Indra “Apakah dosanya Kang?”
Yudhistira: “Arjuna pun terkena penyakit takabur. Ketika anaknya mati, ia telah sesumbar sanggup mengalahkan musuh dalam satu hari sebelum matahari terbenam. Padahal kesanggupannya hanya terdorong oleh nafsu semata, sehingga janjinya tak dapat dibuktikan. Itulah dosanya.”
Tak berapa lama tiba-tiba Bima mengerang: “Oh, kakang tolong aku, badanku gemetar aku tak mampu berjalan, tolong aku kang…: “Adikku Bima, engkau makan sangat gembul tanpa mengindahkan orang lain yang juga butuh makanan. Kata-katamu kasar tak perduli dengan siapa engkau berbicara. Selain itu engkau selalu menyombongkan kekuatanmu. Karena itu terimalah apa yang telah engkau lakukan,” dan sang Bima pun menemui ajalnya. Tinggallah Yudhistira seorang diri hanya ditemani angjingnya yang sangat setia. Hatinya sedih tak terperikan lalu ia berdoa: “Duh Maha Agung, terimalah adik-adik hamba menghadap -Mu. Meski mati membawa dosa, tetapi mereka pun banyak berbuat amal kebaikan semasa hidupnya. Karena itu ampunilah dosanya, berilah mereka tempat yang layak sesuai dengan amal perbuatannya.”
Kemudian ia berkata kepada anjingnya: “Anjingku yang setia, engkau telah menjadi saksi atas kepergian adik-adikku. Tak lama lagi mungkin giliranku. Tapi aku sangat sedih karena kau harus menyendiri. Padahal selama ini engkau begitu setia menyertaiku.” Baru saja Yudhistira hendak beranjak, tiba-tiba di angkasa terdengar suara mengguruh ternyata Hyang Indra datang dengan kereta kencana tiba di hadapan Yudhsitra seraya bersabda: “hai Yudhistira, janganlah engkau bersedih atas kematian adik-adik dan istrimu. Mati telah menjadi bagian setiap manusia. Sekarang naiklah ke atas kereta, engkau akan kubawa ke swarga tanpa harus meninggalkan jasadmu sebagai penghargaan atas keutamaanmu.
Yudhistira : “iya sang Pikulun, hamba sangat bersyukur mendapat anugerah yang tak terhingga besarnya. Hanya ada satu permintaan sebelum paduka membawa hamba.” “katakan apa yang kau minta?” tanya Indra. “Hamba mohon supaya anjing ini diperkenankan turut serta naik ke swarga,” pintanya.
Indra : “Yudhistira, ketahuilah bahwa engkau akan kubawa ke alam yang teramat suci tanpa noda sedikit pun. Sedang anjing adalah hewan yang sangat kotor. Karena itu janganlah engkau memikirkannya, walaupun ia setia padamu.”
Yudhistira : “Kalau demikian lebih baik hamba tinggal di sini bersamanya. Hamba tidak tega meninggalkan dia sendirian di tengah hamparan pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia telah merasakan kelelahan yang amat sangat menempuh perjalanan yang amat jauh bersama hamba,” jawab Yudhistira bertahan.
Indra : “Kalau begitu engkau tidak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu yang telah pergi lebih dahulu. Selama hidupnya mereka begitu setia kepadamu hingga akhir hayatnya. Lalu mana kesetiaanmu kepada mereka?” sergahnya.
Yudhistira : “Tidak dapat dikatakan hamba tak akan setia kepada mereka, karena mereka telah ajal lebih dahulu. Kecuali jika mereka masih hidup kemudian hamba meninggalkan mereka, barulah itu dikatakan bahwa hamba tidak setia kepada mereka. Dan kini seekor anjing walaupun hewan kotor, karena dia sangat setia kepada hamba dan adik-adik hamba, apakah hamba harus tega meninggalkannya sendirian di alam terbuka tanpa ada yang menemani. Bukankah anjing juga makhluk Tuhan? Oh, tidak sang Pikulun, lebih baik hamba tak ke swarga daripada harus meninggalkan dia,” kilahnya.
Tiba-tiba anjing itu menghilang dan Dewa Darma telah berada di hadapan yudhistira merangkul dan bersabda: “Anakku Yudhistira, telah dua kali aku menguji keutamaanmu. Pertama ketika saudara-saudaramu mati di tepi hutan karena minum air kolam. Ketika kau minta supaya Nakula yang dihidupkan bukan Arjuna saudara sekandungmu, karena engkau lebih mengutamakan keadilan daripada kasih sayang. Dan sekarang engkau lebih baik tak jadi ke swarga daripada harus meninggalkan seekor anjing yang setia kepadamu. Mengingat keutamaanmu, engkau diperkenankan naik ke swarga bersama jasadmu.”
Ringkas cerita Yudhistira telah naik ke alam akhirat. Setibanya di sana ia melihat-lihat apakah saudara-saudaranya berada di situ. Ternyata taks eorang pun ia lihat. Bahkan ia kaget ketika melihat Duryudana sedang duduk di singgasana disanjung dan dimuliakan. Ia berkata dalam hatinya: “Ah, ini tidak sesuai dengan karyanya di dunia. Walaupun ia raja tapi ia berwatak angkara. Justru dialah yang menyulut api perang Baratayudha. Tapi mengapa ia justru ditempatkan di swarga?” Batara Narada yang menyertai terusik rasa tahu apa kata hati si anak Pandu itu lalu berkata: “Wahai Yudhistira, janganlah engkau heran. Matinya Duryudana di medan perang sebagai seorang perwira. Maka sudah sepantasnya Maha Kuasa mengganjar dengan kemulian.”
“Hamba tak berhak mencampuri urusan akhirat, silahkan bila Duryudana diberi ganjaran kemuliaan. Tetapi kalau tempat ini pantas untuk Duryudana, lalu di manakah tempat berkumpulnya saudara hamba?” tanya Yudhistira.
Narada lalu menitahkan seorang ahli swarga mengantar Yudhistira ke tempat saudaranya berkumpul. Ternyata jalannya penuh kerikil dan batu-batuan. Ribuan nyamuk berterbangan, di sepanjang jalan darah berceceran, daging terkeping-keping serta tulang-tulang berserakan ditambah bau amis sangat menyengat. Tak lama terlihat sebuah kancah dengan godongan minyak yang sangat panas sedang menggodog manusia-manusia yang sedang disiksa. Yudhistira tak sampai hati dan ingin berlalu. Tetapi tiba-tiba ada suara menghimbau: “Oh, jangan pergi dulu sang Prabu, karena air minyak yang sangat panas ini, begitu tuand atang mendadak menjadi sangat dingin bagai hawa di pegunungan.”
Ternyata yang berbicara bukan hanya seorang, tetapi beberapa orang yang sedang mendapat siksaan. Yudhistira kaget, karena ia mengenal satu-satunya suara itu. Lalu ia bertanya siapa tadi yang bertanya. Maka mereka menjawab: “Aku Karna, Aku Bima.” Lalu lainnya: “Saya Arjuna,” demikian seterusnya sampai nama Nakula Sadewa dan Drupadi. Setelah jelas bahwa mereka yang sedang mendapat siksaan itu adalah saudara-saudaranya, Yudhistira minta kepada pengiringnya agar meninggalkan tempat itu. Biarlah dia ingin menyertai mereka, agar godongan minyak itu tetap dingin.
Tetapi tak lama kemudian berdatanganlah para Dewa ke tempat siksaan dan.. seketika tempat yang semula berupa kancah godongan berubah menjadi suatu tempat yang amat indah tiada tara, sejuk nyaman dengan semilir angin yang menyejukkan ditambah tercium harum yang mewangi di sekitarnya. Hyang Indra kemudian bersabda:
“Yudhistira, jangan engkau masygul, sebab ini adalah suatu rahasia. Setiap manusia tak dipilih-pilih harus ke neraka. Hanya ada aturan tertentu, siapa yang ke swarga dahulu, selanjutnya harus ke nereka. . Dan siapa yang ke neraka dahulu, akhirnya akan ke swarga. Artinya apabila di dunia hidupnya berbuat jahat, maka di akhiratnya akan diganjar swarga dahulu, kemudian dimasukkan ke nereka. Sedang tuan harus melihat, sebab tuan pernah berbohong menipu Dorna ketika perang tuan mengatakan bahwa Aswatama telah mati. Demikian pula saudara-saudara tuan masuk ke neraka karena ada dosanya. Tetapi sejak hari ini, hukumannya telah ditutup dan mereka akan masuk swarga. Nah, biarkan mereka lebih dahulu memasuki gerbang Nirwana.”
Setelah itu sukma Yudhistira medal dari raga badannya dan dengan diiringi para Dewa masuk ke swarga bertemu dengan saudara-saudara serta para kerabat dan sahabatnya mendapat sejatining kemuliaan..
Salam rahayu semoga bermanfaat . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar