emi melestarikan Kejayaan kisah Bharatayudha...
Demi nilai-nilai leluhur yang kini makin menghablur... yang dikikis Dekadensi dan Degradasi Moral generasi penerus.
Inilah Kisah sebelum Perang Baratayudha yang sungguh mengharukan. Kisah yang mengundang banyak kontroversi.
Kisah mengenai keterlibatan para Dewa bertipu muslihat untuk meniadakan
Antasena, Antareja dan Wisanggeni agar mereka tidak ikut terjun dalam
perang Baratayudha. Bisa dibayangkan, andai Antareja ikut terlibat dan
turun ke medan perang, ribuan prajurit Kurawa bisa mati hanya dalam
sekejap oleh kesaktiannya sebagai keturunan bangsa ular.
Atau Antasena, yang dipercaya dapat membalikkan dunia wayang hanya dengan kedua telapak tangannya.
Kisah pengorbanan yang jarang diungkap, terjadi sebelum Baratayudha.
Sebuah kisah para ksatria yang memilih mati di jalan mereka sendiri demi
sebuah keyakinan untuk berbakti kepada keluarga besarnya.
Raden
Werkudara alias Bima alias Bimasena merupakan satu-satunya dari kelima
Pandawa lainnya yang harus mengikhlaskan ajal dari ketiga putranya,
ketiga anaknya gugur dan moksa dalam dan menjelang Perang Bharatayuda.
Antasena dan Antareja memilih moksa sebelum perang terjadi, Gathotkaca
gugur ditangan karna dengan panah KUNTA WIJAYA DANU dalam perang
Bharatayudha. Ya sebuah perang yang menggambarkan peperangan antara
kebaikan melawan kejahatan. Putra-putra Bima konon tidak memiliki
kelemahan yang berarti, bahkan kesaktian mereka mampu melebihi kesaktian
Ayahnya sendiri. Sebagai figur seorang ayah tentu saja. Raden Werkudara
sangat bangga dengan ketiga anaknya ini, dan kebanggan yang memuncak
itu semua sirna dalam sekejap berganti dengan duka mendalam ketika harus
menghadapi takdir bahwa kesemua anaknya yang dibanggakan harus gugur
dalam menjalankan garis kehidupan dalam saat yang berdekatan. Siapa itu
Antasena? Siapa itu Antareja Siapa itu Wisanggeni? Ketiganya adalah para
ksatria putera Pandawa. Yang pertama dan kedua adalah putera Bima alias
Werkudoro, yang ketiga adalah putera Arjuna alias Janoko.
Ada
kesamaan pokok antara Antasena dan Wisanggeni, yaitu sama-sama
blak-blakan, jujur, apa adanya, spontan, sekaligus berani melawan
junjungan mereka kalau mereka yakin bahwa junjungan mereka memang salah.
Mereka berdua adalah kesatria yang selalu siap bertempur membela nama
besar keluarga Pandawa. Tetapi ketika mereka tahu bahwa keluarga mereka
mulai menapaki jalan yang sesat, kedua kesatria ini tidak segan-segan
berteriak dalam bahasa “ngoko", yakni bahasa Jawa yang dipakai antara
dua orang yang setara dalam suasana yang sama sekali tidak formal.
Mereka menggunakan gaya bahasa “ngoko” karena memang tidak bisa
menggunakan “krama inggil”, yakni bahasa Jawa yang harus digunakan oleh
orang muda kepada orang tua atau bahasa orang yang berderajat lebih
rendah kepada mereka yang berderajad lebih tinggi, atau antara dua orang
yang sederajat tetapi dalam sikap saling menghormati. Antareja sedikit
berbeda dengan dua saudaranya tersebut, Antareja masih menggunakan
bahasa santun, selebihnya sifat lainnya sama dengan kedua saudaranya.
Antasena, Antareja dan Wisanggeni adalah ketiga ksatria yang amat sakti,
sampai para dewa pun gentar. Dalam wayang Jawa disebutkan bahwa para
dewa mempunyai skenario bahwa keluarga Bharata (Pandawa dan Kurawa)
harus berperang sampai titik darah penghabisan untuk memperebutkan
Astinapura. Ini skenario para dewa yang harus terjadi. Karena itu apapun
yang menghalangi skenario ini, harus disingkirkan. Menurut para dewa,
Antasena, Antareja dan Wisanggeni adalah tiga Ksatria Pandawa yang pasti
akan menggagalkan Baratayuda atau perang keluarga Barata. Ketiga anak
Pandawa ini dipastikan akan dalam sekejap menumpas Kurawa, sehingga yang
akan terjadi adalah penumpasan kilat, bukan perang dahsyat yang
membanjirkan darah di kedua pihak. Karena itu, menurut para dewa,
Antasena, Antareja dan Wisanggeni harus mati demi Bharatayuda. Demi
tujuan para dewa itulah Antasena, Antareja dan Wisanggeni harus mati.
Ketiganya gugur karena tipu daya para dewa. Antasena memilih Moksa,
Antareja memilih mati menjilat tapak kakinya sendiri dan Wisanggeni
gugur menelan liurnya sendiri. Kembali ada kesamaan antara ketiganya,
yakni mati secara kesatria ketika mempertahankan keyakinan mereka akan
kebenaran. Memang, sangat menyesakkan dada bagi orang hidup untuk
berbicara mengenai pilihan cara harus mati. Tapi adalah sebuah tindakan
koruptif berbicara mengenai Antasena, Antareja dan Wisanggeni tanpa
menerima cara ketiganya gugur.
Diantara anak Werkudoro, Antasena
adalah yang tersakti dan terbijak, dia bisa terbang, bisa ambles ke bumi
dan bisa hidup di darat dan lautan. Kulitnya bersisik dan kebal
terhadap segala macam senjata Perang. Senjata ampuhnya terletak di
tangannya, bila sudah digunakan untuk menyerang, tidak ada yang mampu
menahan kesaktian tangannya, bahkan gunungpun rubuh bila kena tinju
tangan Antasena. Hatinya sangat baik sebagai pembela Kebenaran, Lugas
dan tegas. Seperti Antareja dan Wisanggeni, Antasena tidak diperkenankan
ikut Perang Bharatayudha, karena kesaktiannya yang tidak ada
bandingannya dari pihak Kurawa, sehingga bila ikut perang keadaan jadi
tidak berimbang. Untuk hal inilah Sri Kresna diutus para dewa berperan
sebagai negosiator sehingga Antasena mau melakukan "Bom Bunuh Diri"
moksa sebelum perang Bharatayudha, demi keseimbangan semesta, kejayaan,
dan nama baik para Dewa. Sri Kresna mengatakan jika Pandawa mau menang
maka Antareja, Wisanggeni dan Antasena harus mau berkorban tidak ikut
Bharatayudha, alias harus gugur duluan sebelum terjadi Perang di Padang
Kurusetra. Peristiwa moksa Raden Antasena tergolong unik, tak terhitung
ribuan kilo meter yang ditempuh Sri Kresna untuk mencari keberadaan
Raden Antasena, ia bertanya kesana kesini, menemui seluruh penguasa
penjuru bumi, dan tetap tak mampu Sri Kresna menemuinya, tapi tanpa
disangka Raden Antasena muncul di hadapan Sri Kresna menyerahkan diri.
Bahkan kemunculannya yang menyamar sebagai orang lain tak disadari oleh
Sri Kresna. Raden Antasena sudah mengetahui isi dari pemikiran dan apa
yang hendak diutarakan Sri Kresna, di sinilah Sri Kresna benar-benar
mengakui kehebatan Raden Antasena. Kresna sebenarnya amat sangat
menyayangkan tentang keputusan dewata untuk meminta kedua Putra
Werkudara ini untuk moksa. Karena baginya kebijaksanaan Raden Antasena
jauh melebihi kebijaksanaan Semar, Narada, Hanoman…maupun dirinya
sendiri. Pengetahuannya akan kehidupan dan segala maknanya amatlah
dalam.
Sebelum Moksa, Raden Antasena berpesan kepada Sri Kresna:
“Perang Bharatayuda hanyalah perang fisik seperti perang-perang besar
lainnya, yang menjadi simbol perseteruan antara kebenaran dan kejahatan.
Perang sesungguhnya antara Kebenaran dan Kejahatan telah berlangsung
sejak lama, sebelum Kurawa dan Pandawa dilahirkan. Kehadiran saya tak
diperlukan dalam perang di Kurusetra itu. Saya tak sampai hati mencabut
nyawa mereka yang tak mengerti tujuan dari peperangan tersebut. Tolong
Sampaikan salam perpisahan saya untuk Ayahanda saya, Bima, dan sampaikan
permohonan maaf saya yang tak bisa berbakti padanya karena tidak bisa
terlibat dalam Perang Bharatayudha …”
Sri Kresna hanya menangis
terharu mendengar statement pemuda tersebut, seorang anak muda putra
Bima/ Werkudara yang kebijaksanaan dan kesaktiannya membuat segan para
Dewa.
Salam rahayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar