Minggu, 11 Januari 2015

Bharata yudha

emi melestarikan Kejayaan kisah Bharatayudha...
Demi nilai-nilai leluhur yang kini makin menghablur... yang dikikis Dekadensi dan Degradasi Moral generasi penerus.
Inilah Kisah sebelum Perang Baratayudha yang sungguh mengharukan. Kisah yang mengundang banyak kontroversi.
Kisah mengenai keterlibatan para Dewa bertipu muslihat untuk meniadakan Antasena, Antareja dan Wisanggeni agar mereka tidak ikut terjun dalam perang Baratayudha. Bisa dibayangkan, andai Antareja ikut terlibat dan turun ke medan perang, ribuan prajurit Kurawa bisa mati hanya dalam sekejap oleh kesaktiannya sebagai keturunan bangsa ular.
Atau Antasena, yang dipercaya dapat membalikkan dunia wayang hanya dengan kedua telapak tangannya.
Kisah pengorbanan yang jarang diungkap, terjadi sebelum Baratayudha. Sebuah kisah para ksatria yang memilih mati di jalan mereka sendiri demi sebuah keyakinan untuk berbakti kepada keluarga besarnya.
Raden Werkudara alias Bima alias Bimasena merupakan satu-satunya dari kelima Pandawa lainnya yang harus mengikhlaskan ajal dari ketiga putranya, ketiga anaknya gugur dan moksa dalam dan menjelang Perang Bharatayuda. Antasena dan Antareja memilih moksa sebelum perang terjadi, Gathotkaca gugur ditangan karna dengan panah KUNTA WIJAYA DANU dalam perang Bharatayudha. Ya sebuah perang yang menggambarkan peperangan antara kebaikan melawan kejahatan. Putra-putra Bima konon tidak memiliki kelemahan yang berarti, bahkan kesaktian mereka mampu melebihi kesaktian Ayahnya sendiri. Sebagai figur seorang ayah tentu saja. Raden Werkudara sangat bangga dengan ketiga anaknya ini, dan kebanggan yang memuncak itu semua sirna dalam sekejap berganti dengan duka mendalam ketika harus menghadapi takdir bahwa kesemua anaknya yang dibanggakan harus gugur dalam menjalankan garis kehidupan dalam saat yang berdekatan. Siapa itu Antasena? Siapa itu Antareja Siapa itu Wisanggeni? Ketiganya adalah para ksatria putera Pandawa. Yang pertama dan kedua adalah putera Bima alias Werkudoro, yang ketiga adalah putera Arjuna alias Janoko.
Ada kesamaan pokok antara Antasena dan Wisanggeni, yaitu sama-sama blak-blakan, jujur, apa adanya, spontan, sekaligus berani melawan junjungan mereka kalau mereka yakin bahwa junjungan mereka memang salah. Mereka berdua adalah kesatria yang selalu siap bertempur membela nama besar keluarga Pandawa. Tetapi ketika mereka tahu bahwa keluarga mereka mulai menapaki jalan yang sesat, kedua kesatria ini tidak segan-segan berteriak dalam bahasa “ngoko", yakni bahasa Jawa yang dipakai antara dua orang yang setara dalam suasana yang sama sekali tidak formal. Mereka menggunakan gaya bahasa “ngoko” karena memang tidak bisa menggunakan “krama inggil”, yakni bahasa Jawa yang harus digunakan oleh orang muda kepada orang tua atau bahasa orang yang berderajat lebih rendah kepada mereka yang berderajad lebih tinggi, atau antara dua orang yang sederajat tetapi dalam sikap saling menghormati. Antareja sedikit berbeda dengan dua saudaranya tersebut, Antareja masih menggunakan bahasa santun, selebihnya sifat lainnya sama dengan kedua saudaranya. Antasena, Antareja dan Wisanggeni adalah ketiga ksatria yang amat sakti, sampai para dewa pun gentar. Dalam wayang Jawa disebutkan bahwa para dewa mempunyai skenario bahwa keluarga Bharata (Pandawa dan Kurawa) harus berperang sampai titik darah penghabisan untuk memperebutkan Astinapura. Ini skenario para dewa yang harus terjadi. Karena itu apapun yang menghalangi skenario ini, harus disingkirkan. Menurut para dewa, Antasena, Antareja dan Wisanggeni adalah tiga Ksatria Pandawa yang pasti akan menggagalkan Baratayuda atau perang keluarga Barata. Ketiga anak Pandawa ini dipastikan akan dalam sekejap menumpas Kurawa, sehingga yang akan terjadi adalah penumpasan kilat, bukan perang dahsyat yang membanjirkan darah di kedua pihak. Karena itu, menurut para dewa, Antasena, Antareja dan Wisanggeni harus mati demi Bharatayuda. Demi tujuan para dewa itulah Antasena, Antareja dan Wisanggeni harus mati. Ketiganya gugur karena tipu daya para dewa. Antasena memilih Moksa, Antareja memilih mati menjilat tapak kakinya sendiri dan Wisanggeni gugur menelan liurnya sendiri. Kembali ada kesamaan antara ketiganya, yakni mati secara kesatria ketika mempertahankan keyakinan mereka akan kebenaran. Memang, sangat menyesakkan dada bagi orang hidup untuk berbicara mengenai pilihan cara harus mati. Tapi adalah sebuah tindakan koruptif berbicara mengenai Antasena, Antareja dan Wisanggeni tanpa menerima cara ketiganya gugur.
Diantara anak Werkudoro, Antasena adalah yang tersakti dan terbijak, dia bisa terbang, bisa ambles ke bumi dan bisa hidup di darat dan lautan. Kulitnya bersisik dan kebal terhadap segala macam senjata Perang. Senjata ampuhnya terletak di tangannya, bila sudah digunakan untuk menyerang, tidak ada yang mampu menahan kesaktian tangannya, bahkan gunungpun rubuh bila kena tinju tangan Antasena. Hatinya sangat baik sebagai pembela Kebenaran, Lugas dan tegas. Seperti Antareja dan Wisanggeni, Antasena tidak diperkenankan ikut Perang Bharatayudha, karena kesaktiannya yang tidak ada bandingannya dari pihak Kurawa, sehingga bila ikut perang keadaan jadi tidak berimbang. Untuk hal inilah Sri Kresna diutus para dewa berperan sebagai negosiator sehingga Antasena mau melakukan "Bom Bunuh Diri" moksa sebelum perang Bharatayudha, demi keseimbangan semesta, kejayaan, dan nama baik para Dewa. Sri Kresna mengatakan jika Pandawa mau menang maka Antareja, Wisanggeni dan Antasena harus mau berkorban tidak ikut Bharatayudha, alias harus gugur duluan sebelum terjadi Perang di Padang Kurusetra. Peristiwa moksa Raden Antasena tergolong unik, tak terhitung ribuan kilo meter yang ditempuh Sri Kresna untuk mencari keberadaan Raden Antasena, ia bertanya kesana kesini, menemui seluruh penguasa penjuru bumi, dan tetap tak mampu Sri Kresna menemuinya, tapi tanpa disangka Raden Antasena muncul di hadapan Sri Kresna menyerahkan diri. Bahkan kemunculannya yang menyamar sebagai orang lain tak disadari oleh Sri Kresna. Raden Antasena sudah mengetahui isi dari pemikiran dan apa yang hendak diutarakan Sri Kresna, di sinilah Sri Kresna benar-benar mengakui kehebatan Raden Antasena. Kresna sebenarnya amat sangat menyayangkan tentang keputusan dewata untuk meminta kedua Putra Werkudara ini untuk moksa. Karena baginya kebijaksanaan Raden Antasena jauh melebihi kebijaksanaan Semar, Narada, Hanoman…maupun dirinya sendiri. Pengetahuannya akan kehidupan dan segala maknanya amatlah dalam.
Sebelum Moksa, Raden Antasena berpesan kepada Sri Kresna: “Perang Bharatayuda hanyalah perang fisik seperti perang-perang besar lainnya, yang menjadi simbol perseteruan antara kebenaran dan kejahatan. Perang sesungguhnya antara Kebenaran dan Kejahatan telah berlangsung sejak lama, sebelum Kurawa dan Pandawa dilahirkan. Kehadiran saya tak diperlukan dalam perang di Kurusetra itu. Saya tak sampai hati mencabut nyawa mereka yang tak mengerti tujuan dari peperangan tersebut. Tolong Sampaikan salam perpisahan saya untuk Ayahanda saya, Bima, dan sampaikan permohonan maaf saya yang tak bisa berbakti padanya karena tidak bisa terlibat dalam Perang Bharatayudha …”
Sri Kresna hanya menangis terharu mendengar statement pemuda tersebut, seorang anak muda putra Bima/ Werkudara yang kebijaksanaan dan kesaktiannya membuat segan para Dewa.
Salam rahayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar