Masyarakat jawa memiliki berbagai macam tradisi yang masih terjaga sampai saat ini. Ini mereka lakukan untuk menghormatai para leluhur yang ada pada jaman terdahulu. Banyak orang mengatakan bahwa kehidupan orang jawa sangatlah rumit,. Karena mereka terlalu mengurus tradisi yang telah berlangsung meskipun itu diawali dari dukuh atau desa. Contoh tradisi masyarakat jawa pada umumnya adalah acara brokohan, acara sepasar bayi, acara tedhak siten, acara tumpak punjen, acara sedekah bumi atau memetri desa, acara suronan dan sebagainya. Dari berbagai macam tradisi yang dilakukan masyarakat jawa secara umum saya akan mengambil salah satu contoh kebudayaan orang jawa yang sampai saat ini masih ada. Namun saya akan menyinggung secara khusus salah satu tradisi masyarakat di desa Pilang, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora
Randublatung adalah salah satu nama Kecamatan yang ada di kabupaten Blora, Jawa Tengah. Daerah ini merupakan salah satu titik penghasil minyak di cepu. Kontur tanah di Blora adalah bentangan pegunugan Kendeng yang mayoritas di apit oleh tanah kapur. Sehingga mempengaruhi berbagai macam bentuk aktiftas masyarakatnya. Selain itu Blora juga terkenal sebagai kota Samin dan Kota Sate.
Di Randublatung terdapat nama sebuah desa yang tak jauh dari Pusat Kota ini, yaitu di dukuh Pilang, desa Pilang. Masyarakat setiap tahun sekali melakukan acara memetri desa atau Tegas Desa masyarakat Randublatung menyebutnya. Biasanya acara semacam ini dilakukan setelah panen hasil bumi, sebagai rasa syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa dan kepada bumi. Masyarakat desa Pilang sendiri melakukan acara ini biasanya pada bulan April-Juli, dan pasti dilakukan pada hari Jum’at Pon. Mereka melakukan acara ini di salah satu punden desa yaitu di Sendang Brumbung. Sendang ini berada persis ditengah lahan sawah tanah milik asset desa.
Menurut cerita yang saya dapatkan dari salah satu narasumber terpercaya yaitu Kamituwa Dukuh Pilang Bapak Wik Suwito Brumbung adalah “Punjere Wong Pilang”. Dulu ada seorang penggembala kambing bernama Mbah Brumbung, ia adalah seorang lelaki tua yang hidup sebatang kara dan hidupnya selalu menggembala kambing. Selain itu pada jamannya mbah Brumbung di anggap orang sakti karena ia memiliki beberapa ilmu yang bermanfaat bagi warga Pilang pada saat itu. Banyak orang yang berdatangan untuk berobat atau sekedar meminta Rajahan kepada mbah Brumbung.ia juga terkenal sebagai ahli ramal dengan hasil yang sangat akurat. Bisa dikatakan mbah Brumbung ini adalah orang yang linuwih, walaupun ia hidup dalam kesederhanaan dan penuh dengan kearifan ia memiliki nilai lebih bagi masyarakat Pilang.
Pada suatu hari seperti aktifitas biasanya yang dilakukan Mbah Brumbung yaitu menggembala kambing ia mendapat sebuah firasat bahwa desa ini akan musibah Paceklik. Dengan firasatnya itu kemudian malam harinya Mbah Brumbung melakukan meditasi untuk mencari kebenaran Firasatnya. Dalam meditasinya Mbah Brumbung kemudian mendapat petunjuk bahwa ia harus menumbalkan salah satu ekor Kambingnya untuk menyelamatkan Desa ini. Kemudian mbah Brumbung berdiskusi kepada masyarakat desa Pilang bahwa mereka harus sesegera mungkin melakukan acara selametan desa dengan menumbalkan seekor kambing. Warga yang mendengar perintah dari Mbah Brumbungpun setuju dengan perkataan lelaki tua ini, karena mereka percaya bahwa Ramalan Mbah Brumbung tak pernah meleset. Pada malam Jum’at Pon semua warga berkumpul menjadi satu ada yang membawa palawija, ada yang membawa hasil ternak dan hasil bumi lainnya. Mbah Brumbung memimpin acara tersebut dan semua yang mengikuti kanya terdiam dan mendengarkan perkataan Mbah Brumbung ini. Kemudian ada pegaran barongan desa yang menghantarkan acara tersebut, dilanjut dengan tayub.
Akhirnya setelah melakukan acara tersebut, hujan tiba-tiba membasahi tanah dan semua warga bersuka cita, mereka sangat berterima kasih kepada Mbah Brumbung karena sawah mereka terairi. Kemudian mbah Brumbung dengan dibantu warga menyembelih kambing dan menanam kepala kambing di salah satu sudut desa Pilang yang sering digunakan sebagai aktifitas masyarakat. Pada suatu hari Mbah Brumbung mendapat firasat lagi bahwa hidupnya tak akan lama lagi,kemudian ia menceritakan kejadian ini kepada warga. Mendengar cerita Mbah Brumbung warga terlihat sangat sedih karena akan kehilangan seorang yang mereka percaya sebagai pamong desa itu. Mbah Brumbung sempat berpesan kepada masyarakat Desa Pilang bahwa mereka arus melakukan acara sedekah bumi ini secara terus menerus, jika desa ini ingin terhindar dari Paceklik. Selain itu mbah Brumbung juga menitipkan kambing-kambingnya kepada warga ketika ajal sudah menemuainya nanti.
Hari terus berganti Mbah brumbung masih saja melakukan aktifitasnya menggembala kambingnya. Ia menancapkan patok tali kambing-kambingnya, dan ia bersandar di bawh pohon elo yang tak jauh dari kambing-kambingnya. Kemudian Mbah Brumbung tertidur di bawah pohon itu, pada saat ini juga ajal menjemput Mbah brumbung. Dalam keadaan duduk bersandar dan dikelilingi hewan kesayangannya mbah Mbumbungpun menemui ajalnya, seketika terdengar suara Guntur di siang itu juga. Warga yang merasa kaget, kemudian keluar dari rumah, dan terheran mengapa langit yang cerah ini ada Guntur. Kemudian mereka bermaksud meminta nasehat kepada mbah Brumbung. Ketika mereka sampai di Gubuk Mbah brumbung mereka tak mendapati Mbah brumbung beserta kambingnya dirumah akhirnya mereka mencari Mbah brumbung. Akhirnya mereka menemukan Mbah Brumbung duduk bersandar dengan menggembalakan kambing-kambingnya. Mereka kaget sekaligus sedih bahwa Mbah Brumbung sudah dalam keadaan tak bernyawa. Kemudian mereka membawa jasad mbah Brumbung pulang, kemudian ada yang mencoba mencabut patok tali Kambingnya tadi, ketika dicabut keluarlah mata air yang sangat jernihdari patokl itu.
Sumber air itu menyedot perhatian sebagian masyarakat dan mereka segera membendung air tersebut dengan batu seadanya. Kemudian mereka menguburkan jasad Mbah brumbung tak jauh dari Sumber itu. Kemudian mereka melakukan acara ini sesuai dengan yang diamanatkan, dan makam Mbah brumbung ini dijadikan Punden desa, dan sumber air tadi dijadikan sendang bagi masyarakat desa Pilang.
Aspek yang terkadung dalam cerita diatas adalah mereka harus bersyukur terhadap apa yang telah disediakan oleh alam dan sebagai tanda syukur mereka kepada Tuhan yang maha kuasa. Selain itu juga terdapat pesan moral yang tersampaikan secara tidak langsung dalam lisan tadi yaitu melestarikan Kesenian tradisional yang hampir punah dengan adanya Westernisasi atau budaya kebaratan. Contoh kesenian Tradisional adalah tayub dan barongan, kedua kesenian itu sangat banyak dijumpai di masyarakat randublatung bahkan di kabupaten Blora. Tradisi sedekah bumi seperti ini hampir seluruh desa yang ada dikecamatan Randublatung memiliki adat yang berbeda-beda. Sesuai dengan mitos yang telah beredar secara lisan didalam masyarakat desa itu sendiri. Dalam kajian ini sebenarnya masyarakat juga menjunjung nilai konservasi, namun konservasi dalam konteks ini mengacu pada alam dan hubungan antar manusia.
Kebudayaan yang ditularkan secara lisan besar pengaruhnya dalam masyarakat, karena masyarakat jawa pada umumnya, dan di Desa Pilang ini secara khususnya, lebih senang menjadi seorang pendengar. Dan ketika mereka mendengarkan mereka akan langsung tanggap dan mencerna kata-kata yang mereka dengar, karena sesuai dengan Foklor yang setiap hari mereka temui. Dan jika dalam Tradisi ini biasanya merekapun menggunakan tradisi Getok tular atau sering disebut sebagai tradisi lisan dari orang satu ke orang lain. Dalam cerita yang saya bahas masyarakat terus melakukan acara tersebut, walaupun mereka menyisipkan beberapa hiburan modern tetapi tidak meninggalkan aturan yang telah ditetapkan oleh sesepuh desa. Dan menurut narasumber yang saya wawancarai bahwa masyarakat selalu melakukan acara ini dan jika tidak menurut mereka akan terjadi suatu musibah walaupun sebatas kata “jarene” atau dalam bahasa Indonesia bermaksud katanya. Namun kata “jarene” itulah yang banyak mempengaruhi daya piker dan pola dalam suatu masyarakat jawa yang memang mempecayai adanya budaya jawa.
Memang sebenarnya dalam agama besar dalam seperti Islam tidak ada ajaran yang mewajibkan acara ini namun dengan adanya toleransi maka terbentuklah Foklor yang tetap ada seperti sekarang, karena orang jawa mempertahankan sikap teguh saling menghormati. Dalam kajian sastra lisan ini juga banyak ajaran yang terkandung seperti peribahasa yang berbunyi “ajining dhiri gumantung saka lathi” ini berarti bahwa kepribadian seseorang dapat dilihat dan didengarkan dari cara berbicaranya dan semua perkataan yang keluar adalah cerminan dari orang itu sendiri. Sehingga orang jawa sangat berhati-hati dalam perkataan, perbuatan dalam kehidupan bermasyarakat dengan tujuan agar mereka tidak saling bermusuhan satu sama lain dan bisa berinteraksi dengan alam sekitar. Mereka juga memiliki prinsip yaitu “memayu hayuning diri”, “memayu hayuning sasama” dan “memayu hayuning bawana”. Yang memiliki arti manusia harus bisa menahan dan momong dirinya sendiri, harus bisa nahan diri dan momong terhadap sesamanya,kemudian akan tercipta tujuan yang terakhir yaitu momonng dn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar